Halo semua, perkenalkan saya Sendi Agustian. Ya sudah lama saya tidak membuat artikel, saya rasa di awal tahun 2025 ini mungkin awal yang bagus untuk mencoba komitmen membuat artikel atau konten terkait hal-hal yang saya pelajari dan atau saya pahami lagi disini.
Di panghujung tahun 2024 kemarin dan sampai saat ini awal tahun 2025 ada bahasan yang cukup ramai di bincangkan yaitu soal kenaikan Pajak PPN menjadi 12%. Bahasan ini menarik karena yang saya pelajari dan cari-cari ternyata agak sedikit membingungkan jika tidak di cerna dengan baik.
Kebijakan ini, yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), menjadi langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, di tengah antusiasme dan optimisme, muncul berbagai pertanyaan dan kekhawatiran dari masyarakat terkait dampak kenaikan tarif ini terhadap daya beli, inflasi, dan perekonomian secara keseluruhan.
Saya tidak akan membahas lebih jauh terkait dampaknya namun lebih fokus kepada membedah bagaimana aturan PPN itu di tetapkan. Sebelum membahas lebih lanjut penting bahwa harus kita pahami definisi dari PPN itu sendiri.
Apa itu PPN?
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan pada setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam proses distribusi atau produksi, mulai dari produsen hingga konsumen akhir. PPN merupakan salah satu jenis pajak tidak langsung, karena pembayar pajak akhir adalah konsumen, tetapi yang menyetorkan pajak ke pemerintah adalah penjual atau penyedia jasa.
Kalo lebih simpelnya lagi yang di bilang bang Ferry Irwandi di video youtubenya Malaka Project dia mengartikan bahwa intinya PPN itu adalah tarif apa saja yang dikenakan pada tindakan atau aktivitas konsumsi. Yang artinya seluruh masyarakat di Indonesia ini membayar PPN, teman-teman.
Hmm... kalo kita beli sesuatu di Warkop, Warteg, Tokok Kelontong, Kang Dagang Kaki Lima, kayaknya ga ada keterangan bayar PPN 12% kenapa? Karena pedagang kecil ini nggak langsung memungut PPN dari kamu.
Tapi sebenarnya, barang yang mereka jual itu sering mereka beli dari perusahaan besar yang pasti sudah kena PPN duluan. Jadi, saat tarif PPN naik, pedagang kecil ini harus bayar lebih mahal waktu beli barang dari perusahaan besar. Itu artinya modal mereka (biaya untuk beli barang dagangan) jadi lebih tinggi.
Karena mereka nggak punya izin sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), mereka nggak bisa "mengklaim kembali" PPN yang mereka bayar itu (disebut mekanisme kredit pajak). Jadi, satu-satunya cara untuk menutupi kenaikan biaya mereka adalah menaikkan harga jual.
Inilah sebabnya kenaikan PPN akhirnya ikut mempengaruhi masyarakat menengah ke bawah dan pedagang kecil, karena mereka harus mengeluarkan uang lebih banyak, baik sebagai penjual maupun pembeli.
Penetapan Aturan PPN 12%
Informasi mengenai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia dari 11% menjadi 12% telah diumumkan oleh pemerintah pada beberapa kesempatan:
- Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP): Disahkan pada 29 Oktober 2021, UU ini menetapkan bahwa tarif PPN akan naik menjadi 11% mulai 1 April 2022, dan selanjutnya menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025. - KOMPAS
- Pernyataan Menteri Keuangan: Pada 14 November 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan dilaksanakan mulai 1 Januari 2025, sesuai dengan ketentuan dalam UU HPP. - KOMPAS KEUANGAN
- Pengumuman Resmi Presiden: Pada 31 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan berlaku mulai 1 Januari 2025, namun hanya dikenakan pada barang dan jasa mewah. KONTAN NASIONAL
Dengan demikian, informasi mengenai kenaikan tarif PPN ini telah disampaikan secara bertahap sejak disahkannya UU HPP pada tahun 2021, dengan penegasan lebih lanjut oleh pejabat pemerintah pada akhir tahun 2024 menjelang implementasinya pada awal tahun 2025.
Nah realisasinya menjelang diberlakukannya kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, suara protes dari masyarakat semakin lantang terdengar. Kritik tajam datang dari berbagai kalangan, mulai dari pelaku usaha kecil hingga masyarakat umum, yang khawatir bahwa kebijakan ini akan semakin membebani ekonomi mereka. Dalam situasi tersebut, pemerintah akhirnya membuat pengumuman mengejutkan hanya enam jam sebelum aturan resmi berlaku, menandakan adanya respons terhadap tekanan publik yang begitu besar.
Pemerintah mengumumkan bahwa secara tiba-tiba mengumumkan aturan baru terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, tetapi dengan mekanisme yang membingungkan. Aturan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131 Tahun 2024, bukan undang-undang, sehingga tidak bisa secara langsung mengubah tarif PPN yang sudah ditetapkan dalam undang-undang.
Untuk menyeimbangkan antara kebijakan fiskal dan respons publik yang menolak kenaikan PPN, pemerintah membuat solusi "jalan tengah". Mereka tetap mencantumkan tarif PPN 12%, tetapi mengubah mekanisme perhitungan melalui koefisien "11 per 12". Ini berarti meskipun tarif formal adalah 12%, publik sebenarnya hanya membayar pajak sebesar 11% dari harga barang.
Contoh:
Jika Rp100.000.000 adalah harga barang sebelum pajak, berikut adalah penjelasan langkah demi langkahnya:
Harga Barang Dasar (Harga Tanpa Pajak):
Harga barang sebelum pajak: Rp100.000.000.
Tarif PPN Formal (12%):
Tarif formal tetap 12%, tetapi menggunakan mekanisme koefisien 11/12 untuk mempermudah perhitungan pajak.
Menggunakan Koefisien 11/12:
Hitung PPN (12%) dari Harga Baru:
Total Harga yang Dibayar Konsumen:
Intinya:
Pemerintah tetap menaikkan tarif PPN menjadi 12% secara formal, tapi lewat mekanisme koefisien, konsumen hanya membayar efek setara dengan PPN 11%. Solusi ini dianggap sebagai upaya untuk mendengarkan kritik publik sambil tetap menjaga kebijakan fiskal sesuai undang-undang. Namun, mekanisme ini membingungkan banyak orang karena rumit, kalau di bilang bang Ferry Irwandi seperti "akrobat matematika".
Kesimpulan
Kesimpulannya, meskipun pemerintah telah mengeluarkan aturan baru melalui PMK untuk mengatur mekanisme PPN 12% menggunakan koefisien 11/12, kebijakan ini tetap membutuhkan pengawasan ketat dari masyarakat. Alasannya sederhana: PMK tidak memiliki kekuatan hukum sekuat undang-undang, sehingga potensi perubahan mendadak tanpa persetujuan DPR tetap ada. Selain itu, perubahan ini memberikan tantangan besar, terutama bagi produsen dan pelaku usaha yang sudah menyesuaikan harga dan sistem mereka berdasarkan asumsi tarif formal 12%.
Namun, peran masyarakat sangat penting dalam menjaga check and balance, memastikan kebijakan ini dijalankan secara adil tanpa membebani konsumen dan pelaku usaha kecil. Pemerintah juga perlu memberikan edukasi yang jelas kepada publik untuk menghindari kesalahpahaman dan memastikan pelaksanaan yang sesuai aturan.
Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan seperti ini tidak hanya ditentukan oleh angka-angka, tetapi juga oleh bagaimana pemerintah memperhatikan daya beli masyarakat, memberikan kemudahan ekonomi, dan menunjukkan kepekaan terhadap kebutuhan rakyat. Dengan begitu, kebijakan yang sulit sekalipun dapat diterima dengan lebih baik.
Penutup
Semoga pembahasan ini membantu teman-teman memahami kebijakan PPN yang cukup kompleks ini. Jika ada pertanyaan atau kebingungan, mari berdiskusi lebih lanjut untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Kita berharap pemerintah terus mendengarkan aspirasi rakyat dan mengambil langkah-langkah yang bijak demi kesejahteraan bersama. Sampai jumpa di pembahasan berikutnya!